Rabu, 14 Maret 2012

Sejarah Bonek


Istilah Bonek, akronim bahasa Jawa dari Bondho Nekat (modal nekat), biasanya ditujukan kepada sekelompok pendukung atau suporter kesebelasan Persebaya Surabaya, walaupun ada nama kelompok resmi pendukung kesebelasan ini yaitu Yayasan Suporter Surabaya (YSS). Di persepak bolaan Indonesia, bonek banyak digambarkan sebagai pendukung yang sering membuat kerusuhan, dari mulai tidak membayar tiket kereta api, sampai bentrok dengan aparat keamanan dan pendukung kesebelasan lawan.
Istilah bonek pertama kali dimunculkan oleh Harian Pagi Jawa Pos tahun 1989,[rujukan?] untuk menggambarkan fenomena suporter Persebaya yang berbondong-bondong ke Jakarta dalam jumlah besar. Secara tradisional, Bonek adalah suporter pertama di Indonesia yang mentradisikan away supporters (pendukung sepak bola yang mengiringi tim pujannya bertandang ke kota lain) seperti di Eropa.[rujukan?] Dalam perkembangannya, ternyata away supporters juga diiringi aksi perkelahian dengan suporter tim lawan. Tidak ada yang tahu asal-usul, Bonek menjadi radikal dan anarkis. Jika mengacu tahun 1988, saat 25 ribu Bonek berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk menonton final Persebaya – Persija, tidak ada kerusuhan apapun.
Secara tradisional, Bonek memiliki lawan-lawan, sebagaimana layaknya suporter di luar negeri. Saat era perserikatan, lawan tradisional Bonek adalah suporter PSIS Semarang dan Bobotoh Bandung. Di era Liga Indonesia, lawan tradisional itu adalah Aremania Malang, The Jak suporter Persija, dan Macz Man fans PSM Makassar. Di era Ligina, Bonek justru bisa berdamai dengan Bobotoh Persib Bandung dan Suporter PSIS Semarang.
Beberapa peristiwa kekacauan yang disebabkan “Bonek mania” antara lain adalah kerusuhan pada pertandingan Copa Dji Sam Soe antara Persebaya Surabaya melawan Arema Malang pada 4 September 2006 di Stadion 10 November, Tambaksari, Surabaya. Selain menghancurkan kaca-kaca di dalam stadion, para pendukung Persebaya ini juga membakar sejumlah mobil yang berada di luar stadion antara lain mobil stasiun televisi milik ANTV, mobil milik Telkom, sebuah mobil milik TNI Angkatan Laut, sebuah ambulans dan sebuah mobil umum. Sementara puluhan mobil lainnya rusak berat. Atas kejadian ini Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman (sebelum banding) dilarang bertanding di Jawa Timur selama setahun kepada Persebaya, kemudian larangan memasuki stadion manapun di seluruh Indonesia kepada para bonek selama tiga tahun.
Sekitar Agustus 2006, bonek dijatuhi sanksi lima kali tidak boleh mendampingi timnya saat pertandingan away menyusul ulah mereka yang memasuki lapangan pertandingan sewaktu Persebaya menghadapi Persis Solo di final divisi satu. Ironisnya, tahun 2005, Persebaya justru rela dihukum terdegradasi ke divisi satu gara-gara mundur di babak 8 besar. Pihak klub beralasan untuk melindungi bonek agar tidak disakiti.
Namun tidak selalu Bonek bertindak anarkis ketika kesebelasan Persebaya kalah. Tahun 1995, saat Ligina II, Persebaya dikalahkan Putra Samarinda 0 – 3 di Gelora 10 November. Tapi tidak ada amuk Bonek sama sekali. Para Bonek hanya mengeluarkan yel-yel umpatan yang menginginkan pelatih Persebaya mundur.
Saat masih di Divisi I, Persebaya pernah ditekuk PSIM 1 – 2 di kandang sendiri. Saat itu juga tidak ada aksi kerusuhan. Padahal, jika menengok fakta sejarah, hubungan suporter Persebaya dengan PSIM sempat buruk, menyusul meninggalnya salah satu suporter Persebaya dalam kerusuhan di kala perserikatan dulu.
Beberapa kritik mengatakan citra buruk Bonek lebih banyak dibentuk oleh opini masyarakat. Hal ini dikarenakan karena setiap bonek pasti tidak membeli tiket masuk pertandingan dan selalu menjarah dagangan orang berjualan. Dan hal inilah yang membuat bonek lebih terlihat seperti penyakit yang sangat menakutkan yang harus dihindari.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Salam Satoe Jiwa

 KINI telah tumbuh gerakan pencerahan di kalangan arek-arek Bonek. Jaringan itu menyebar di Surabaya, Jogjakarta, dan Jakarta. Mereka adalah anak-anak muda yang berusia antara 20 sampai 30 tahun. Mereka tidak rela arek-arek Bonek selalu dipojokkan dalam konotasi negatif.
Sebelum landing ke Bandara Bonek, kami ingin menjelaskan mengapa beberapa tulisan kami di sportjatim.com bertemakan Bonek?
Pertama, Bonek adalah pelopor gerakan tret-tet-tet ke Senayan Jakarta era Green Force Persebaya Divisi Utama PSSI Perserikatan 1986/1987 silam. Waktu itu, belum ada satu kubu suporter pun yang tret-tet-tet secara terorganisasi mengiringi tim kesayangannya melakoni babak Enam Besar Divisi Utama Perserikatan. Waktu itu, hanya Bonek yang go to Senayan dengan mengenakan busana kebesaran berupa kaos warna hijau dengan gambar atau logo Wong Mangap (orang berteriak penuh semangat dan keberanian).
Memang, waktu itu belum ada julukan Bonek. Mereka dikenal dengan nama para suporter Green Force Persebaya. Pelopor dari gerakan tret-tet-tet ini adalah Jawa Pos, lebih tepatnya adalah Pak Dahlan Iskan yang sekarang menjadi Big Boss Jawa Pos & Group.
Waktu itu, Jawa Pos membuat ribuan kaos berlogo Wong Mangap, dan dijual dengan harga murah. Seingat kami pada 1987 itu seharga Rp 1.000 per potong kaos. (Harga rokok Gudang Garam kretek isi 10 masih Rp 300 per pak). Pendek kata, Senayan dihijaukan oleh arek-arek Suroboyo. Mereka membentang spanduk raksasa yang digantungkan di atas tribun timur dan barat. Luar biasa! Sayang, di final Persebaya kalah 0-1 oleh PSIS Semarang. Namun, semuanya berjalan tertib, tidak ada kerusuhan apa pun.
Usai final, beberapa suporter Green Force menyalami Syamsul Arifin dan kawan-kawan. Ada yang bilang: ’’Ojo sedih Cak. Tahun ngarep insya Allah Persebaya juara!’’
Tembusnya Persebaya ke babak final pada 1986/1987 sudah merupakan gebrakan yang luar biasa. Sebab, pada musim kompetisi 1985/1986 Persebaya terpuruk di peringkat ke-9 dari seluruh (10) klub Divisi Utama. Raihan terburuk sepanjang sejarah Persebaya kala itu. Itulah sebabnya Pak Dahlan Iskan, waktu itu masih Pemimpin Redaksi Jawa Pos, mengundang parar tokoh sepak bola Surabaya untuk merumuskan solusi kebangkitan kembali Persebaya. Bang Moh – sapaan akrab Mohammad Barmen, Pak Tiyanto Saputra dan tokoh-tokoh lainnya sarasehan di ruang redaksi Jawa Pos, di lantai 2 Kantor Jawa Pos di Jalan Kembang Jepun. Setelah itu Pak Dahlan pergi ke Inggris untuk mengamati Premier League Inggris, termasuk perilaku para suporternya. Sepulang dari Inggris itulah ide tret-tet-tet dengan kaos kebesaran dan slayer suporter Green Force Persebaya muncul! Logo Wong Mangap kali pertama diciptakan oleh Mister Muhtar, desainer grafis Jawa Pos. Loga pertama bercorak ekspresionis. Kemudian diubah pada musim kompetisi 1988/1989 dengan Wong Mangap bercorak naturalis seperti yang kita lihat sampai sekarang. Dan, sejak itu pula julukan Bonek dilansir oleh redaktur olahraga Jawa Pos, termasuk oleh saya sendiri sebagai redaktur olahraganya.
Istilah Bonek, seperti yang kami singgung dalam tulisan sebelumnya, dimaksudkan untuk mewarisi karakter pejuang nan pemberani dan pantang menyerah dari kakek moyang arek-arek Suroboyo pada tahun 1945. Peristiwa heroik dan bersejarah yang melahirkan Hari Pahlawan 10 Nopember! Semangat berani karena benar, pantang menyerah, tali duk tali layangan, awak situk ilang-ilangan itulah yang harus menitis dalam jiwa dan perilaku Bonek sepanjang zaman!
Bahwa kemudian dalam perjalanannya terjadi berbagai kerusuhan yang disebabkan oleh ulah Bonek, sungguh hal ini sangat memprihatinkan bagi seluruh warga Surabaya. Karena itu, sekarang bukalah lembaran sejarah baru: Bonek yang pro fair play, yang cinta damai, anti anarkisme, dan pembela sejati Green Force Persebaya!
Itu tadi secuil flash back perjalanan sejarah Bonek.
Kedua, kami melihat adanya ketidakadilan dari perlakuan media massa terhadap Bonek. Prinsip-prinsip cover both side dan balancing sepertinya telah diingkari oleh media massa. Barangkali, kami bisa dikatakan melakukan pleidoi (pembelaan) terhadap arek-arek Bonek. Maka, kami pun akan menjawab: ’’Ya!’’
Ketika arek-arek Bonek melakukan kerusuhan, beritanya diposisikan sebagai head line (HL) dengan foto besar-besar. Padahal, sebenarnya kita belum tahu persis siapa yang memicu kerusuhan. Misalnya saling lempar antara Bonek dengan warga Jawa Tengah. Siapa yang bisa membuktikan bahwa pelempar awalnya Bonek, atau sebaliknya pelempar awalnya warga Jateng.
Betapa pun, kita semuanya yang mencintai Persebaya tetap prihatin terhadap kejadian yang sangat tidak diinginkan itu. Di dalam hati kita berdoa: ’’Semoga Allah SWT membimbing arek-arek Bonek menjadi suporter sejati yang layak jadi panutan suporter Nusantara. Jauhkanlah mereka dari tindakan-tindakan emosional yang merugikan nama besar Bonek dan Persebaya. Kembalilah pada semangat Bonek seperti musim kompetisi divisi utama perserikatan 1986/1987. Kobarkanlah kembali heroisme para pejuang kemerdekaan 1945 di Surabaya yang luhur dan mulia itu. Amin.’’
Kerusuhan sebenarnya sudah ada pada 1987/1988 yang dilakukan arek-arek Bonek yang di luar koordinasi Jawa Pos. Kejadian saling lempar dalam perjalanan kereta api yang mengangkut Bonek dari Jakarta pulang ke Surabaya. Waktu itu Jawa Pos pun membayar kerugian yang dialami PJKA sekarang PT KAI sebesar Rp 50 juta.
Nah, ketika belakangan arek-arek Bonek melakukan gerakan pencerahan, menjalin hubungan damai kembali dengan Pasoepati – julukan suporter Persis Solo, gerakan ini tak diberitakan sama sekali. Ketika Arema juara ISL 2009/2010, dan Aremania melakukan pesta juara di Malang, ada sejumlah oknum Aremania yang merusak mobil-mobil berplat L. Tapi, tak lama kemudian, sejumlah Aremania lainnya menghajar sendiri oknum-oknum Aremania yang berbuat rusuh itu.
Keesokan harinya, arek-arek Bonek mencegat mobil-mobil berplat N. Mereka sama sekali tidak melakukan kerusakan, malahan sebaliknya memberikan bunga kepada sang sopir. Firman, yang di akun facebook bernama Bonek Pinggiran Kota menceritakan, waktu itu sopir dan penumpang mobil berplat N sempat ketakutan. Namun, setelah mereka disapa ramah dengan pemberian bunga tanda cinta damai, mereka pun tersenyum.
Peristiwa ini pun sama sekali tidak diberitakan oleh media massa.
Ketiga, secara tidak sengaja kami berkomunikasi dengan sejumlah Bonek. Ada yang dari Jakarta antara lain Andhi Bonek Jakarta, Sawoenggaling Soerabaja, ada yang dari Jogja antara lain Fajar Junaedy, 28 tahun, dosen broadcasting Universitas Muhammadiyah Jogjakarta yang juga Bonek. Ada Dyota, Bonek Pinggiran Kota, Yudha Bonek, Dedy Ambon dari Surabaya.
Ketika berkontak ria soal sepak bola, kami pun terkejut. Ternyata kalimat-kalimat dan pemikiran mereka cerdas. Mereka mencintai sepakbola dan menyayangi klub Persebaya dengan wawasan yang luas.
Di situ kami baru tahu, mengapa mayoritas Bonek lebih pro Persebaya 1927. ’’Kami sebenarnya membela kedua-duanya, baik Persebaya 1927 maupun Persebaya Divisi Utama. Tapi setelah Persebaya Divisi Utama bermain di kandang dengan bantuan penalti-penalti palsu, didukung dengan tindakan wasit yang tidak fair, kami pun kecewa berat. Karena itu sekarang hampir semua Bonek pro Persebaya 1927,’’ kata Yudha Bonek.
Pecahnya Persebaya menyadi Persebaya 1927 dan Persebaya Divisi Utama itu sendiri adalah korban dari pertarungan elite sepak bola nasional. Hanya Persebaya yang terbelah dua! Karena itu, arek-arek Bonek mendambakan kembalinya SATU PERSEBAYA!
Kini, tumbuh lapisan baru arek-arek muda Bonek yang gencar melakukan gerakan pencerahan. Mereka berjuang keras menegakkan kedamaian. Bahkan arek-arek Bonek Jakarta dan Jogja kini sedang membikin Buku Sejarah Bonek. Fajar Junaedy dari Jogja juga membuat VCD Sejarah Bonek. Dia telah mewawancarai pencipta logo Wong Mangap, yaitu Mister Muhtar dan Budiono, termasuk kami sendiri dan beberapa saksi sejarah tret-tet-tet 1986/1987. Mereka adalah anak-anak muda intelek, kreatif, mempelajari berbagai pengetahuan tentang sepak bola dengan rajin membuka situs. Mereka berdebat dengan rasional dan dengan hati yang dingin. Semoga gerakan pencerahan arek-arek Bonek ini menemukan puncak yang gemilang. Hal ini ditandai dengan semakin ramah dan sportifnya arek-arek Bonek di mana pun berada.
Perlu diingat, soal kerusuhan suporter bukan hanya Bonek yang melakukan. Berbagai fakta menjadi bukti. Kubu-kubu suporter lain pun melakukan kerusuhan. Mungkin lebih tepat disebut oknum-oknum, bukan kubu suporter secara keseluruhan. Bahkan suporter di negara yang maju dan menjadi nenek moyangnya sepak bola pun, kerusuhan suporter masih saja ada. Semoga pejuangan lapisan muda intelektual Bonek itu menuai hasil gemilang. Amin.*

1 komentar:

  1. oh iyo ker onok gak foto BONEK pas bentangkan spanduk gede nang Senayan?? tak golek i nang endi" angel e ker. . .

    #S1NyaLL. . . WANI !!!!

    BalasHapus