Belum habis rasa penasaran ayas atas posting ayas yang berjudul sumber permusuhan Aremania vs Bonek yang mengulas
tentang segala sesuatu yang menyebabkan perseteruan antara dua kelompok
supporter terbesar di Indonesia, yaitu antara Aremania dengan Bonek.
Setiap kali ayas buka internet, sudah dapat ayas pastikan dalam satu tab
terpisah, ayas pasti membuka Mr Google yang sangat lengkap
pengetahuannya tentang apapun. Dalam tab tersebut, ayas mengetikkan
judul2 yang sekiranya bisa ayas pakai untuk mencari file2, artikel2,
posting2 yang berbau dan memuat tentang Aremania vs Bonek.
Memang ayas ini tergolong agak bagus rejekinya, sehingga ada aja
posting2 yang ayas temui yang memuat tentang Aremania vs Bonek. Saat ini
ayas sedang membuka salah satu posting yang judulnya plek sama dengan
judul posting ayas, tapi ditambahi dengan istilah2 lainnya dalam
judulnya. Blog bernama cak-faris.blogspot.com memuat judul
Sepakbola, Kapitalisme, dan Konflik Sosial: Sejarah Perseteruan
Aremania dan Bonek. Karena penasaran ayas mencoba untuk membukanya,
ternyata puanjang sekali isinya. Tapi demi memuaskan rasa penasaran ayas
ayas membukanya. Materinya buagus ternyata, ayas membacanya……..(sek tak
moco yoooo……..) setelah beberapa lama tik tok tik tok tik tok…….(bunyi
jam), akhirnya belum selesai ayas mbaca, ayas mikir, mending tak bagi2
ae nang nawak2 pembaca lainnya lewat blog ayas.
Ok, setelah ayas semedi dan berdo’a untuk memohon petunjuk (jare
arek2 lebay…..), ayas tekadkan untuk memuatnya ulang disini. Monggo
disimak :
Pendahuluan
Hari ini persepakbolaan nasional sudah mulai menapak maju, dimana
setiap klub sepakbola yang ada dibawah naungan PSSI (Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia) dibina untuk lebih profesional. Bentuk
profesionalitas itu oleh PSSI dituangkan dalam format baru Liga
Indonesia, dimana sejak tahun 1994 kompetisi yang sebelumnya terbagi dua
disatukan dalam konsep Liga Indonesa dengan kasta tertinggi terletak
pada Divisi Utama. Setelah berganti-ganti konsep dan format kompetisi,
akhirnya pada tahun 2008 Divisi Utama Liga Indonesia berubah menjadi Indonesian
Super League. Proses pembinaan kompetisi beserta klub-klub yang
ada didalamnya diharapkan mampu membuat iklim sepakbola di Indonesia
menjadi lebih modern dan mampu menelurkan bibit-bibit baru pemain asli
Indonesia yang lebih berkualitas.
Kemajuan persepakbolaan nasional tentu harus diikuti oleh komunitas
suporter yang menjadi basis pendukung sebuah klub sepakbola. Karena
adalah sebuah omong kosong apabila sebuah klub sepakbola itu mampu
bertahan tanpa dukungan suporter yang ada dibelakangnya. Tetapi
sayangnya sudah menjadi rahasia umum bahwasanya persepakbolaan Indonesia
dikenal akan kerusuhan dan permainan yang menjurus kasar. Kerusuhan
demi kerusuhan, entah itu akibat ketidakdewasaan suporter atau provokasi
ofisial pertandingan kepada suporter menjadi cerita lama dalam dunia
persepakbolaan Indonesia. Konflik Jakarta-Bandung, Semarang-Jepara,
Jogja-Solo, dan Malang-Surabaya menjadi cerita pasti mengenai aroma
panas dalam konflik suporter di Indonesia.
Belum dewasanya suporter di Indonesia tentu menjadi penghambat bagi
pengembangan profesionalitas klub-klub di Indonesia. Aksi anarkis yang
dilakukan oleh oknum suporter menjadi salah satu faktor lambatnya
pengembangan profesionalitas klub Indonesia. Belajar dari kasus rasisme
Aremania beberapa saat yang lalu tentu menjadi sebuah pelajaran berharga
bagi seluruh elemen suporter yang ada. Kerugian sebesar hampir 1 miliar
rupiah bagi Arema tentu menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Arema
yang merupakan klub profesional tanpa dukungan dana APBD tentu kesulitan
membayar gaji pemain dan lainnya. Padahal skala permasalahan baru
sekitar denda dan hukuman, belum pada level anarkisme tingkat tinggi
seperti perusakan stadion dan beberapa fasilitas, kerusuhan
antar-suporter, hingga aksi-aksi kejahatan yang melibatkan komunitas
suporter.
Salah satu pertarungan suporter yang paling sering disorot oleh media
massa adalah rivalitas Aremania dan Bonek. Dua elemen suporter dari
Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya ini memiliki tensi rivalitas
yang sangat tinggi, dimana perseteruan antar kedua elemen suporter ini
tak jarang berakhir dengan bentrokan, kerusuhan, kerusakan material,
hingga jatuhnya korban jiwa. Ekspresi saling benci keduanya juga
tertumpah ketika mendukung kesebelasan masing-masing, walaupun yang
dihadapi adalah tim sepakbola selain Arema Indonesia atau Persebaya
Surabaya.
Konflik Aremania melawan Bonek sudah menjadi cerita lama dalam
diskusi antar-suporter di Indonesia. Pertarungan yang sudah
mendarah-daging dalam kedua elemen suporter tersebut menjadi bumbu pedas
dalam forum antar-suporter. Walaupun belum ada yang pernah
memfilmkannya layaknya film Romeo-Juliet, tetapi aroma panas
selalu terasa dalam kehidupan sehari-hari warga Malang dan Surabaya.
Tidak jarang ditemui di rumah seorang Aremania segala atribut Bonek
menjadi kain lap, sementara di Surabaya segala atribut Aremania menjadi keset.
Aroma panas kedua elemen ini tentu menarik untuk dikaji dan diteliti
lebih lanjut, karena sifat persaingannya yang begitu kental dan sudah
mendarah-daging. Belum lagi pembentukan iklim sepakbola Indonesia ke
arah modern tentu harus mewaspadai satu hal yang kini masih menjadi
kontroversi: industri sepakbola. Modernisasi sepakbola secara tidak
langsung membawa dunia sepakbola ke arah industri, dimana pada akhirnya
kapital juga ikut bermain dalam menentukan suasana dan atmosfir sebuah
pertandingan. Bukan tidak mungkin beberapa peristiwa yang berkaitan
dengan sepakbola Indonesia hari ini berkaitan erat dengan suasana pasar
ekonomi.
Selain dari perspektif industri sepakbola, tentu konflik-konflik yang
timbul juga tidak luput dari permasalah sosial dan budaya dalam sebuah
masyarakat. Masalah hegemoni dan pengakuan akan ‘the one and the
best’ juga menjadi salah satu permasalah konflik suporter
Indonesia. Persoalan chauvinisme dan fanatisme dalam sebuah masyarkat
juga tidak dapat dihilangkan sebagai faktor-faktor pemicu konflik. Belum
lagi soal dendam yang berasal dari peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Begitu banyak permasalahan yang timbul dalam masyarakat sehingga terbawa
dalam kancah sepakbola membuat stadion masih belum menjadi tempat yang
nyaman dalam menikmati pertandingan sepakbola.
Dengan mempelajari proses historis perseteruan kedua kelompok
suporter ini diharapkan adanya pembelajaran serta solusi agar
konflik-konflik yang terbangun menjadi sportif dan tidak anarkis.
Pengkajian akan sebuah konflik dengan memandang dari perspektif
sosiologi –dimana masyarakat dan kondisi kultural akan menjadi objek
yang dikaji– diharapkan akan timbul sebuah mediasi entah itu berupa
negoisasi atau yang lainnya. Dengan begitu posisi suporter sebagai
sebuah pendukung klub akan terjadi hubungan timbal balik dengan klub
yang didukung. Selain itu diharapkan pula perdamaian antar-suporter
sepakbola yang ada di Indonesia dapat terjadi.
Sejarah Aremania dan Rivalitas dengan Bonek
Tahun 1988 lahirlah Yayasan Arema Fans Club (AFC) yang didirikan oleh
Ir. Lucky Acub Zaenal. Yayasan ini hadir sebagai basis kelompok
suporter dari Yayasan PS Arema yang didirikan setahun sebelumnya. Tahun
pertama AFC berdiri dipimpin oleh Ir. Lucky Acub Zaenal dengan 13
korwil (koordinator wilayah) yang ada dibawahnya. Keberadaan AFC yang
begitu formal dan eksklusif membuat kalangan suporter yang berasal dari
kelas bawah tidak mampu menjangkau organisasi tersebut. AFC sendiri pada
akhirnya belum mampu menciptakan kerukunan antar-suporter di Malang,
sehingga harus dibubarkan pada tahun 1994.
Kondisi chaos dalam kota, dimana sering terjadi perselisihan
antar-geng yang berlanjut ke dalam stadion membuat kota Malang menjadi
sepi di kala Arema bertanding. Banyak toko-toko dan warung-warung tutup,
bahkan hingga mengunci pintu dan jendela. Beberapa narasumber bahkan
menceritakan bahwa ketika itu seorang suporter membawa batu, pentungan,
dan golok adalah hal biasa . AFC yang belum mampu menyatukan
elemen-elemen suporter yang ada di Malang akhirnya membubarkan diri.
Menjelang bubarnya AFC, beberapa suporter sepakbola Malang berkumpul dan
mendiskusikan mengenai Aremania. Beberapa nama seperti Handoko, Yuli
Sumpil, Ovan Tobing, Leo Kailola, dan Lucky Acub Zaenal yang merupakan
pentolan dari beberapa kelompok suporter PS Arema di Malang berkumpul
dan mengambil keputusan bahwa Aremania didirikan dalam sebuah organisasi
non-formal (tanpa bentuk) tetapi terus menjaga persatuan dan
sportivitas. Sehingga sejak saat itu tidak ada ketua resmi dari
Aremania.
Ketiadaan ketua bukan berarti menimbul perpecahan dalam Aremania.
Kultur masyarakat Malang yang egaliter membangun kebersamaan dalam
ketiadaan struktur organisasi tersebut. Prinsip “sama rata, sama
rasa, satu jiwa” yang dimiliki oleh warga Malang menjadikan
Aremania menjadi kelompok suporter yang memiliki kekompakan dan
persatuan yang kuat. Rasa egaliter pula yang membuat Aremania kompak dan
mudah dikendalikan oleh Yuli dan Kepet, dirigen Aremania saat ini.
Titik balik Aremania terjadi pada tahun 1993, pasca PS Arema
menjuarai kompetisi Galatama PSSI. PS Arema yang pada tahun-tahun
sebelumnya belum memiliki begitu banyak pendukung, mendapatkan
perpindahan pendukung begitu banyak dari Ngalamania. Kedewasaan arek
Malang akan dampak negatif dari anarkisme membawa dampak positif bagi
perjalanan Aremania selanjutnya. Aremania lalu mempelopori untuk selalu
hadir mengawal pertandingan Arema di kandang lawan. Dimulai dari Cimahi
pada tanggal 31 Mei 1995, Aremania selalu mengikuti kemanapun Arema
pergi dan mendukung sembari menularkan virus suporter damai kepada
elemen-elemen suporter lawan.
Bulan Mei 1996 Aremania berani untuk melakukan lawatan ke stadion
‘musuh abadi’ untuk mendukung Arema dan menularkan virus perdamaian ke
Bonek yang menjadi elemen suporter Persebaya. Aremania datang dengan
pengawalan dari DANDIM Kota Malang pada pertandingan yang disaksikan
oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur, dimana mereka
menunjukkan eksistensi perdamaian yang dibawanya. Stadion Tambaksari
yang dikenal ‘biadab’ karena jarangnya suporter lawan yang berani
memasuki stadion tersebut akibat tekanan, intimidasi, kerusuhan, dan
provokasi Bonek menjadi saksi eksistensi Aremania .
Rivalitas Malang Surabaya
Berbicara masalah persaingan dan rivalitas dua elemen suporter di
Jawa Timur ini, maka kita tidak dapat mengesampingkan sejarah dan kultur
sosial masyarakat masing-masing kota. Malang yang secara demografis
adalah sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, dimana
pembangunan-pembangunan yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial
Hindia Belanda hingga zaman Orde Baru membawa kemajuan yang sangat pesat
bagi kota ini. Kemajuan yang membuat masyarakatnya merasa mampu untuk
menyaingi kota metropolitin sekelas Surabaya. Surabaya yang selalu
dianggap ‘number one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat
Malang tidak terima dan menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama
mereka. Dalam tataran propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota
kedua setelah Surabaya. Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat
tinggi oleh arek Malang terhadap arek Suroboyo .
Kondisi ‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya
begitu panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang
selalu berusaha menyaingi suporter asal Surabaya. Arek Suroboyo sudah
lama memiliki sifat bondho nekat, dimana pernah mereka aplikasikan dalam
upaya melawan tentara sekutu dalam pertempuran 10 November 1945. Sifat
bondho nekat yang masih menjadi kultur masyarakat Surabaya modern juga
terbawa dalam sepakbola. Pada akhirnya, bondho nekat ini menjadikan
suporter Surabaya saat itu terkesan brutal dan anarkis, seperti halnya
Hooligans di daratan Eropa.
John Psipolatis pernah menyinggung akan perbedaan ‘suporter brutal’
dan ‘hooligan’ dalam kajiannya tentang sepakbola Indonesia. Ia
menyatakan bahwa untuk di Indonesia lebih sesuai dengan sebutan
‘suporter brutal’, karena mereka datang ke stadion untuk menikmati
pertandingan dan sesudahnya membuat onar. Sementara ‘hooligan’ belum
pantas disandang oleh suporter di Indonesia karena Hooligan datang
dengan niat untuk membuat kerusuhan tanpa menikmati pertandingan
sepakbola.
Konflik dalam hal sepakbola dimulai sejak tahun 1967, dimana terjadi
kerusuhan dalam pertandingan Liga Perserikatan antara Persebaya Surabaya
melawan Persema Malang di Surabaya. Kondisi ini dibalas oleh arek-arek
Malang dalam pertandingan Persema Malang melawan Persebaya Surabaya di
Malang. Akhirnya, konflik suporter yang merupakan pertarungan geng
Malang-Surabaya ini terus berlanjut pada tahun 70’an. Periode 80’an
menjadi puncak ketegangan antara Bonek dan Ngalamania, dimana tahun 1984
terjadi ‘Perang Badar’ antara Ngalamania dengan Bonek. Peperangan yang
terjadi antara Arek Malang dan Arek Suroboyo itu
membuat Presiden Soeharto kala itu menyikapinya dengan ucapan “kalau
sepakbola membuat persatuan hancur, lebih baik tidak usah”.
Rivalitas Bonek – Aremania
Berdirinya Armada 86 hingga berevolusi menjadi PS Arema pada tahun
1987 membuat konflik semakin memanas. Dalam kompetisi Perserikatan,
Persema dan Persebaya sudah memanaskan suhu konflik antar-suporter di
Jawa Timur. Dengan hadirnya Arema yang mengikuti kompetisi Galatama,
suhu itu kian memanas dengan rivalitas Arema dan Niac Mitra Surabaya.
Semifinal Galatama tahun 1992 yang mempertandingkan PS Arema Malang
melawan PS Semen Padang di stadion Tambaksari Surabaya menghadirkan
awalan baru sejarah konflik Aremania-Bonek. Arek Malang (saat
itu belum bernama Aremania) membuat ulah di Stasiun Gubeng pasca
kekalahan Arema Malang dari Semen Padang. Kapolda Jatim saat itu
akhirnya mengangkut mereka dalam 6 gerbong kereta api untuk menghindari
kerusuhan dengan Bonek.
Kejadian di Stasiun Gubeng itu membuat panas Bonek yang ada di
Surabaya. Tindakan balasan mereka lakukan dengan mencegat dan menyerang
rombongan Aremania pada akhir tahun 1993 saat akan melawat ke Gresik.
Peristiwa ini dibalas oleh Aremania pada tahun 1996 dengan melakukan
lawatan ke Stadion Tambaksari dengan pengawalan ketat DANDIM. Keberanian
Aremania untuk hadir di Stadion Tambaksari kala pertandingan Persebaya
melawan Arema saat itu telah membuat Bonek tidak bisa berbuat apa-apa
dan harus menahan amarah mereka dengan cara menghina Aremania lewat
kata-kata saja. Hal ini karena pertandingan tersebut disaksikan oleh
para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur saat itu, serta pengawalan
ketat DANDIM kota Malang terhadap Aremania. Bagi Aremania, hal ini sudah
sangat mempermalukan Bonek dengan datang langsung ke jantung pertahanan
lawan sembari menunjukkan kesantunan Aremania dalam mendukung tim
kesayangan. Semenjak itulah tidak ada kata damai dari Bonek kepada
Aremania, dan Aremania sendiri juga menyatakan siap untuk melayani Bonek
dengan kekerasan sekalipun.
Kejadian ini dibalas oleh Bonek di Jakarta pada tahun 1998. Tanggal 2
Mei 1998 dimana Aremania akan hadir dalam pertandingan Persikab Bandung
vs Arema Malang, Aremania yang baru turun dari kereta di Stasiun
Jakarta Pasarsenen diserang oleh puluhan Bonek. Ketika itu rombongan
Aremania yang berjumlah puluhan orang menaiki bus AC yang sudah
disiapkan oleh Korwil Aremania Batavia. Di tengah jalan, belum jauh dari
Stasiun Pasarsenen tiba-tiba bus yang ditumpangi Aremania dihujani
batuan oleh Bonek. Untuk menghindari jatuhnya korban, rombongan Aremania
langsung turun dari bus untuk melawan Bonek yang menyerang mereka.
Bahkan Aremania sampai mengejar-ngejar Bonek yang ada di Stasiun
Pasarsenen. Tindakan Aremania ini mendapat applaus dari warga
setempat, sehingga Bonek harus mundur meninggalkan area Stasiun
Pasarsenen.
Kondisi rivalitas yang begitu panas antara Aremania dan Bonek membuat
keduanya menandatangi nota kesepakatan bahwa masing-masing kelompok
suporter tidak akan hadir ke kandang lawan dalam laga yang mempertemukan
Arema dan Persebaya. Nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kapolda
Jatim bersama kedua pemimpin kelompok suporter tersebut ditandatangani
di Kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada tahun 1999. Semenjak tahun
1999, maka kedua elemen suporter ini tidak pernah saling tandang dalam
pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing.
Tetapi nota kesepakatan itu tidak mampu meredam konflik keduanya.
Tragedi Sidoarjo yang terjadi pada bulan Mei 2001 menunjukkan masih
adanya permusuhan kedua elemen ini. Kala itu pertandingan antara tuan
rumah Gelora Putra Delta (GPD) Sidoarjo melawan Arema Malang di Stadion
Delta Sidoarjo dalam lanjutan Liga Indonesia VII. Karena dekatnya jarak
Surabaya-Sidoarjo membuat sejumlah Bonek hadir dalam pertandingan
tersebut. Menjelang pertandingan dimulai, batu-batu berterbangan dari
luar stadion menyerang tribun yang diduduki oleh Aremania. Kondisi ini
membuat Arema meminta kepada panpel untuk mengamankan wilayah luar
stadion. Karena lemparan batu belum berhenti membuat Aremania turun ke
lapangan, sementara di luar stadion justru terjadi gesekan antara Bonek
dengan aparat. Turunnya Aremania ke lapangan pertandingan membuat
pertandingan dibatalkan. Terdesaknya aparat keamanan yang kewalahan
menghadapi Bonek membuat Aremania membantu aparat dengan memberikan
lemparan balasan ke arah Bonek. Aremania pun harus dievakuasi keluar
stadion dengan truk-truk dari kepolisian.
Kejadian rusuh yang berkaitan antara Aremania dengan Bonek
masih berlanjut pada tahun 2006. Kekalahan Persebaya Surabaya atas Arema
Malang di stadion Kanjuruhan dalam laga first leg Copa
Indonesia membuat kecewa Bonek di Surabaya. Seminggu kemudian, kegagalan
Persebaya Surabaya mengalahkan Arema Malang di stadion Gelora 10
November Tambaksari Surabaya membuat Bonek mengamuk. Laga yang
berkesudahan 0-0 ini harus dihentikan pada menit ke-83 karena Bonek
kecewa dengan kekalahan Persebaya dari Arema Malang. Kekecewaan ini
mereka lampiaskan dengan merusak infrastruktur stadion, memecahi kaca
stadion, dan merusak beberapa mobil dan kendaraan bermotor lain yang ada
di luar stadion. ANTV yang menayangkan pertandingan tersebut meliputnya
secara vulgar, bahkan berkali-kali menunjukkan gambar rekaman mengenai
mobil ANTV yang dirusak oleh Bonek. Aremania menyikapi hal ini dengan
menyerahkannya secara total kepada pihak berwajib dan PSSI.
Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan,
tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya.
Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti
akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Lagu-lagu
yang menyebutkan Arewaria, Arema Banci, Singo-ne dadi Kucing,
dan beberapa lagu lain kerap mereka nyanyikan di Stadion Gelora 10
November Tambaksari Surabaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh
Aremania, dimana lagu-lagu anti-Bonek juga mereka kumandangkan kala
Arema menghadapi tim lain di Stadion Kanjuruhan. Bahkan persitiwa
terbaru adalah tersiarnya kabar mengenai dikepruknya mobil ber-plat N
ketika malam tahun baru di Surabaya oleh pemuda berkaos hijau (oknum
Bonek?).
Atmosfir Malang – Surabaya
Seperti yang ditulis oleh Feek Colombijn dalam View from The
Periphery: Football in Indonesia, dimana ia menyebut bahwa dinamika
suporter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Kultur
Jawa yang mengutamakan keselarasan dalam harga diri, dimana penolakan
yang amat sangat terhadap hal yang bisa mempermalukan diri sendiri,
menjadi faktor utama konflik antar suporter di Indonesia. Kultur Jawa
yang menghindar dari konflik dan tidak mau dipermalukan menjadi semacam
dari anti-thesis dari sepakbola yang harus siap sedia untuk
dipermalukan. Tetapi kultur Jawa pula yang memicu reaksi apabila
penghinaan itu terjadi di depan umum dan sangat memalukan, maka ekspresi
kemarahan dan anarkisme yang muncul untuk menjaga wibawa dan harga
diri.
Kondisi ini yang memicu atmosfir panas Malang–Surabaya. Geng pemuda
asal Malang yang dibantai oleh Bonek di tahun 1967 memicu perasaan
dendam dari Arek Malang. Belum lagi persoalan rivalitas “number one”,
dimana dalam level propinsi posisi Malang masih dibawah Surabaya. Sifat
tidak terima Arek Malang menjadi nomor dua dibawah Arek Suroboyo ini
membuat keduanya susah berjabat tangan. Persaingan atas dasar pride ini
berlanjut pasca melorotnya prestasi Persema Malang, dimana Arema
mengambil alih posisi rivalitas Malang-Surabaya tersebut.
Pergulatan harga diri ini terlihat jelas ketika Aji Santoso pindah
dari Arema ke Persebaya, akhirnya Aji Santoso pun dianggap pengkhianat
oleh Aremania. Ketika Aji Santoso ingin kembali ke Malang, ia pun harus
melalui begitu banyak tim sebelum akhirnya mengakhiri karirnya bersama
Arema Malang. Ahmad Junaedi pun menjadi korban rivalitas Aremania-Bonek.
Ketika Ahmad Junaedi sudah menjadi bintang sepakbola nasional dan
dibeli Surabaya, maka ketika Persebaya menawarkan Ahmad Junaedi untuk
kembali ke Arema pun ditolak oleh Aremania. Akhirnya Arema pun lebih
memilih untuk mengasah bakat Johan Prasetyo daripada memakai tenaga
Ahmad Junaedi . Dalam hal simbol pun tantangan kepada Bonek juga
dikumandangkan. Dengan pemilihan simbol singa menunjukkan bahwa di
belantara Jawa Timur Arema ingin menjadi nomor satu, diatas Ikan Sura
dan Buaya.
Arema menjadi identitas resistensi daerah terhadap pusat (Surabaya) ,
dimana melalui dialek jawa timur dengan tatanan huruf yang dibalik pada
osob kiwalan khas Malang seolah menunjukkan bahwa Arema
menjadi identitas kultural masyarakat Malang. Selain itu Arema juga
merupakan pemersatu warga kota Malang yang sebelumnya terpecah pada
beberapa desa/wilayah/daerah. Arek Malang selalu berusaha
membedakan dirinya dengan arek Suroboyo. Ketika arek
Suroboyo itu bondho nekad, maka arek Malang itu bondho
duwit. Ketika Bonek itu suka membuat kerusuhan, maka Aremania ingin
menyebarkan virus perdamaian. Konflik identitas juga menjadi lahan
rivalitas kedua kubu suporter besar Jawa Timur ini.
Kapitalisme Sepakbola
Secara disadari atau tidak, fanatisme dan pertarungan kedua elemen
suporter ini menjadi makanan empuk bagi kapitalisme. Sepakbola boleh
jadi hari ini tidak hanya berbicara masalah sportivitas dan kesehatan,
tetapi juga merambah dalam dunia politik dan ekonomi. Industri sepakbola
menjadi salah satu bisnis yang menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha
kelas kakap hari ini, tentu dengan syarat mereka bisa mengendalikan
iklim sepakbola itu sendiri.
Dalam hal konflik suporter di Jawa Timur, boleh jadi media massa
menjadi provokator dalam berbagai peristiwa persepakbolaan di Jawa
Timur. Sebagai contoh Jawa Pos misalnya, dimana secara eksplisit
menyatakan keberpihakannya kepada Persebaya Surabaya. Dapat dimaklumi
sebenarnya apabila melihat kantor redaksi yang berada di Surabaya serta
posisi penting para pengurus Jawa Pos dalam kepengurusan Persebaya
Surabaya. Dalam beberapa tulisan yang ada, Jawa Pos selalu menampilkan
porsi lebih kepada Persebaya, bahkan tidak jarang dukungan kepada Bonek
selalu mereka tuliskan dalam berita-beritanya.
PT Bentoel Prima Tbk yang pernah mengakuisisi Arema juga merasakan
betul dampak menguntungkan bisnis sepakbola yang mereka bangun. Walaupun
menghadapi hambatan begitu banyak dari pesaingnya , tetapi secara
materiil PT Bentoel Prima Tbk mengalami keuntungan yang begitu besar
dari sekedar pasang tulisan bentoel-arema di kaos para pemain Arema.
Bisnis sepakbola inilah yang sedang menguasai persepakbolaan modern
hari ini. Di belahan dunia manapun, modernisasi sepakbola diikuti dengan
berkembang pesatnya industri sepakbola. Dalam buku How Soccer
Explains The World: An Unlikely Theory of Globalization, Franklin
Foer menuliskan bahwa virus globalisasi telah merasuk kian dalam ke
dunia sepakbola, dan faktor pride (kebanggaan/fanatisme)
menjadi faktor ekonomi yang sangat menguntungkan bagi para
kapitalis-kapitalis besar.
Kesimpulan
Modernisasi dalam sepakbola secara tidak langsung diikuti oleh
berkembangnya kapitalisme dalam ranah sepakbola. Seolah-olah menjadi
kapitalis adalah syarat mutlak untuk mengembangkan sebuah persepakbolaan
dalam negeri. Melihat realitas di lapangan, bukan tidak mungkin hal
diatas benar adanya. Karena ketika mengembangkan sepakbola tanpa
sokongan dana yang kuat tentu akan membuat sebuah badan, klub, atau
kompetisi menjadi rontok. Hanya saja kekhawatiran muncul ketika suporter
sepakbola dijadikan obyek untuk mengkapitalisasi sepakbola tadi, dimana
pada akhirnya suporter sepakbola juga yang dipermasalahkan.
Terkadang, berdasarkan perbincangan dengan kawan-kawan pemerhati
sepakbola nasional, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di lapangan selalu
diawali orang orang yang tidak jelas siapa pelakunya. Sebagai contoh
ketika terjadi kerusuhan di Madiun, baik Aremania dan Laskar Sakera
(pendukung Persekabpas Pasuruan) tidak tahu menahu siapa yang memulai
melempari batu-batu ke arah penonton. Tetapi karena yang hadir di
stadion saat itu adalah Aremania dan Laskar Sakera, tentu pada akhirnya
bentrok fisik tidak dapat dihindari. Efek pasca kejadian hari itu adalah
banyaknya toko-toko yang tutup di Madiun, image PT Bentoel
Arema Tbk juga tercoreng, dan entah mengapa beberapa hari sesudahnya
media massa begitu laku di pasaran.
Begitu pula yang terjadi saat kerusuhan Bonek di Stadion Gelora 10
November di Surabaya beberapa tahun lalu. Dimana mau tidak mau Aremania
harus mengakui bahwa kemenangan PS Arema atas Persebaya Surabaya hari
itu cukup kontroversial, ada kesan wasit memihak Arema. Kemenangan 2-1
untuk Arema pun harus dibayar mahal dengan perusakan stadion dan
beberapa fasilitas umum beserta kendaraan pribadi oleh Bonek yang
menonton hari itu.
Begitu banyaknya tangan-tangan tak terlihat yang bermain-main diatas
konflik suporter tentunya harus diwaspadai oleh Aremania maupun Bonek.
Jangan sampai begitu banyak orang mati sia-sia saat pertempuran kedua
suporter tersebut ternyata hanya menjadi ‘mainan globalisasi’ oleh
segelintir orang yang ingin mengambil keuntungan didalamnya. Untuk
itulah perlunya melihat kembali sejarah konflik antar kedua elemen
suporter ini, supaya kejadian-kejadian negatif dapat diminimalisir dan
era baru yang lebih damai dapat tercipta.
Kultur masyarakat Jawa yang melingkupi konflik Aremania-Bonek
seharusnya bukan menjadi kambing hitam atas berbagai peristiwa yang
terjadi. Sudah seharusnya dua elemen suporter yang sudah dikenal akan
militansinya ini berdamai dan menciptakan suasana kondusif dalam
persepakbolaan nasional. Sudah saatnya baik Aremania maupun Bonek untuk
mendewasakan diri dengan melihat dari kacamata modernisasi dan
sportivitas dalam mendukung tim kesayangannya. Tidak ada salahnya Bonek
turut bergabung dalam usaha mewujudkan suporter Indonesia damai,
sehingga mampu membuat suasana stadion begitu damai dan orang tidak
perlu takut untuk menyaksikan secara langsung pertandingan sepakbola di
tanah air.
“Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti
tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak
ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga
ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki
atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam
atau Kristen, di sini semuanya bisa sama,”
Yuli Sumpil – Dirigen Aremania
Ayas sampaikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Cak
Faris yang telah mengulas tuntas tentang judul ini.
Salam Satoe Jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar