Salah satu pahlawan kemerdekaan yang cukup dikenal di Lamongan yakni
Kadet Soewoko. Dia dikenal dengan kisah perjuangannya yang sangat heroik
ketika menghadapi agresi Belanda ke-II pada 1949.
Soewoko sebenarnya bukan asli Lamongan, tetapi kelahiran Desa
Lumbangsari Kecamatan Krebet Malang pada 1928. Setelah lulus sekolah
kadet di Malang, dia kemudian ditugaskan menjadi komandan regu I seksi I
kompi I pasukan tamtama Kdm (Kodim) Lamongan.
Dia meninggal pada 9 Maret 1949 dalam suatu pertempuran yang sengit
melawan tentara Belanda di wilayah Desa Gumantuk Kecamatan Sekaran.
Berarti dia meninggal pada usia yang baru 21 tahun dan belum menikah.
Berdasarkan catatan sejarah Kodim 0812 Lamongan, kisah nyata yang
heroik perjuangan Kadet Soewoko tersebut terjadi pada hari Minggu, 9
Maret 1949 menjelang siang. Ketika sedang beristirahat di sebuah langgar
di Desa/Kecamatan Laren, regu Kadet Soewoko mendapat laporan penduduk
kalau ada truk tentara Belanda yang terperosok di parit wilayah Desa
Parengan (dulu masuk Kecamatan Sekaran, sekarang masuk Kecamatan
Maduran). Truk tersebut mengangkut 12 serdadu Belanda.
Saat itu anggota regu Soewoko berjumlah delapan orang, namun hanya
memiliki 7 senjata api peninggalan Jepang. Mereka kemudian sepakat akan
menyerang tentara Belanda tersebut. Satu anggotanya bernama Soemarto
ditinggal karena jumlah senjata hanya tujuh.
Regu Soewoko kemudian naik perahu dan menyusuri tangkis Bengawan Solo
sebelah utara menuju lokasi serdadu Belanda yang kemudian diketahui
dari pasukan gajah merah. Para Belanda tersebut melepas bajunya dan
hanya memakai halsduk (kacu leher) warna merah.
Regu
Soewoko kemudian merayap melewati kebun bengkowang mendekati lokasi
Belanda yang berada di tempat terbuka di tengah sawah tersebut. Mereka
sepakat akan menyerang dengan tembakan salvo kalau sudah sampai jarak
tembak yang tepat.
Begitu mendekati sasaran tembak, tiba-tiba datang truk power wagon
berisi penuh serdadu Belanda untuk membantu truk yang terperosok parit
itu. Sehingga kekuatan Belanda menjadi berlipat sekitar 37 orang.
Meski kekuatan lawan berlipat, ternyata regu Soewoko tidak nyiut
nyalinya. Mereka tetap melakukan serangan gencar. Beberapa serdadu
Belanda langsung terjungkal ditembak regu Soewoko.
Serdadu Belanda panik dan melakukan perlawanan memakai senjata yang
lebih lengkap dan modern. Regu Soewoko menjadi terdesak. Mereka kemudian
berencana mundur. Tetapi upaya tersebut tidak bisa dilakukan, karena
diam-diam sebagian serdadu Belanda melakukan taktik penghadangan dengan
bergerak memutar ke belakang regu Soewoko. Merasa terkepung, Soewoko
memutuskan menerobos kepungan musuh meuju Desa Gumantuk Kecamatan
Sekaran.
Dua orang anggota regu berhasil menerobos kepungan musuh, satu orang
pura-pura mati dan nahas bagi Soewoko yang tertembak kedua bahunya dan
tergeletak tidak mampu melakukan perlawanan.
Beberapa serdadu Belanda kemudian mendekati dan menanyakan namanya
dengan bentakan. Soewoko pada saat itu mengaku bernama Soewignyo. Dia
kemudian diajak ikut ke pos Belanda di Sukodadi tetapi tidak mau. Dia
bahkan berkata ”Saya tidak mau menyerah, bunuh saya..!. Serdadu Belanda
marah, kemudian menusuk dada kiri Soewoko dan ditembak pipinya sehingga
langsung gugur. Dia bersama tiga anggota regunya yang lain yang gugur
dalam pertempuran itu langsung dimakamkan oleh warga setempat di desa
itu tanpa dimandikan karena dinilai mati syahid. Adegan heroik itu
disaksikan anggota regunya yang pura-pura meninggal. Jenazah Kadet
Soewoko bersama tiga temannya tersebut kemudian dipindah ke taman makam
pahlawan Kusuma Bangsa Lamongan.
Kisah heroik Kadet Soewoko tersebut kemudian diabadikan dengan
dibangunnya patung Kadet Soewoko pada 1975 dan kata-katanya terakhir
juga dipahatkan di patung tersebut. Patung itu terletak di pintu masuk
Kota Lamongan sebelah timur. Salah satu jalan protokol di Kota Lamongan
juga diberi nama Jalan Soewoko. ”Empat anggota regu Kadet Soewoko yang
yang masih hidup, kemudian bertugas ke luar Lamongan, ada yang di
Bandung, Jakarta, dan Malang,” kata Pasi Teritorial Kodim 0812 Lamongan,
Kapten Arh GN Putu Ardana.
Wajah Kadet Soewoko ternyata kemudian juga menjadi inspirasi logo group suporter Bonekmania
Persebaya Surabaya dan LA Mania Persela Lamongan. Kalau Bonekmania
memakai ikat kepala, sedangkan untuk LA Mania memakai blangkon. ”Logo
Bonekmania dan LA Mania tersebut dibuat oleh warga Lamongan bernama
Ridwan, warga keset dekat patung Kadet Soewoko. Gambarnya sebagai
pemenang dalam lomba pembuatan logo bonekmania yang digelar Jawa Pos
sekitar 1986, begitu pula dengan LA Mania. Dia membuat gambar logo
tersebut memakai inspirasi wajah patung Kadet Soewoko tersebut,” ungkap
ketua LA Mania, Ainy Hidayat.
Dayat menambahkan, dulu setiap tahun digelar napak tilas Jadet
Soewoko setiap menjelang 17 Agustus, tetapi sayang, sejak 1992 kegiatan
tersebut tidak pernah digelar lagi.
So masih pantaskah bonek terus menerus mencela leluhurnya!!!!!
Wes, itreng gak?
Ayas oleh teko kanyab sumber……..
Salam Satoe Jiwa
sy suka dengan gambar bonek diatas
BalasHapusgambar bonek liar
Kudu ngakak sampek guling2 moco artikel iki... wkwkwkwkkkk
BalasHapuscooook jancok.....
lucu bedes2 iki
Wkwkwkwk pengarang logo WONG MANGAP alias bonek itu dari editor jawapos cok. Bedes gunung eroh opo? Iyunk1927
BalasHapusBodo iki artikele,,,di pas2 no ambek uteke seng cetek,,,, wong sejarahe lambang bonek onok dewe kok dadi ngarang cerito
BalasHapusOjo ngawur bos...
BalasHapusNek gak tau sejarah...
Jangan mengarang bebas...
Urus sejarah singo edan mu...
Lamongan cek d urus LA...
Bonek cek d urus oknume dewe...
Cek gak garai kisruh...
Saling menghargai & jgn buat opini yg tidak penting biar tidak ada kesenjangan sosial....
Ok